Praktis dan Berhemat dengan Tinggal di Apartemen
Tabloid Rumah
Apartemen biasanya menyediakan ruang publik cukup besar bagi para penghuninya.
Artikel Terkait:
Senin, 12 Mei 2008 | 12:26 WIB
Katarina (32) sekarang memilih pulang ke rumah orangtuanya di Petamburan. Padahal, sejak menikah 2 tahun lalu, perempuan yang bekerja di daerah Slipi ini sudah punya rumah di Vila Dago, Pamulang. Alasannya, “Pulang ke Pamulang jauh, capek ah,” ujarnya. Coba simak percakapan singkat kami dengannya.
TR: Kat, kamu nggak pilih tinggal di apartemen saja?
Katarina: Nggak ah. Biayanya mahal, ada servis ini, servis itu. Lagi pula, gue emang nggak suka nguplek aja di ruang sempit gitu.
Jawaban seperti ini ternyata tidak hanya dari Katarina. Sejumlah orang yang belum pernah mencicipi tinggal di apartemen memberikan jawaban serupa. Bila disimpulkan, ada tiga alasan mereka menolak tinggal di apartemen. Pertama, harga unit apartemen lebih mahal dari rumah biasa (landed house, rumah yang menempel di tanah). Kedua, ada biaya servis setiap bulan yang cukup tinggi. Ketiga, arealnya sempit. Benarkah hidup di apartemen seperti ini?
Mengatasi lahan sempit
Sebenarnya, hidup secara vertikal adalah sebuah jawaban untuk kota besar yang penduduknya semakin padat tapi lahan tidak bertambah. “Kantor, sekolah, sekarang semua dibuat bertingkat. Tempat tinggal juga,” kata Mohammad Danisworo (Chairman Lab PSUD, Center for Urban Design Studies). Muncullah apa yang sekarang kita kenal rumah susun atau apartemen.
Prinsip apartemen adalah lahan kecil bisa dimanfaatkan untuk tempat tinggal bagi banyak orang karena dibuat vertikal. Karena tidak membutuhkan areal yang sangat luas, apartemen bisa berada di tengah-tengah kota. Sedangkan rumah biasa, umumnya ada di pinggiran kota. Bila harga apartemen lebih mahal dari rumah biasa ya wajar saja. Kalau dibandingkan dengan lokasi yang sama, harga apartemen sebetulnya tidak jauh berbeda dengan harga rumah biasa. Apartemen Rasuna, misalnya, yang berlokasi di daerah Kuningan, memasang harga kira-kira Rp 6 juta per meter persegi. Harga tanah di lokasi ini berkisar Rp 5 juta-Rp 6 juta (ini baru tanahnya saja lho, belum termasuk bangunannya).
Biaya per bulan
Tinggal di apartemen memang berbeda dengan tinggal di rumah biasa. Semua urusan dikelola oleh pengelola apartemen, mulai dari urusan buang sampah, sekuriti, area publik, sampai tempat parkir. Semua ongkos ini dijadikan satu, yang disebut biaya maintenance atau biaya servis dan harus dibayar per bulan. Besarnya dihitung berdasarkan luas unit. Untuk parkir dihitung per kendaraan. Randa (33), pengacara, yang tinggal bersama istri dan dua anaknya di sebuah unit di Taman Rasuna seluas 96 meter persegi membayar biaya servis Rp 500.000 per bulan.
Cocok untuk keluarga aktif
Apartemen sebetulnya cocok untuk generasi muda yang terbilang aktif. Bekerja dari pagi sampai malam membuat waktu yang dihabiskan di rumah tidak banyak. Karena itu, memiliki rumah di pinggiran kota sebetulnya cukup memberatkan. Gusti (41), bapak 1 anak yang tinggal di Bintaro dan bekerja di sebuah bank asing di Jalan Thamrin, menghabiskan biaya sekitar Rp 800.000 per bulan untuk bensin. Itu pun hanya digunakan pada hari kerja, belum termasuk hari libur. Ini masih ditambah bensin untuk mobil kedua, yang dipakai istrinya yang bekerja paruh waktu, sekitar Rp 800.000 per bulan. Kalau ditotal, Rp 1,6 juta dihabiskan setiap bulan cuma untuk bensin. Ini belum menghitung “harga” dari waktu untuk anak yang harus dikorbankan karena lamanya perjalanan dari dan menuju rumah. Kalau kita mau membandingkan, biaya ini lebih tinggi dari biaya-biaya servis yang dibebankan oleh apartemen.
Area Terbuka
Alasan lain orang ogah tinggal di apartemen biasanya karena ruang yang terlalu kecil. Banyak orang membayangkan bahwa akan sangat membosankan terkurung di ruangan yang berada beberapa meter di atas tanah, tanpa teras, tanpa halaman, dan tidak ada taman. Apakah memang seburuk itu?
Sebenarnya apartemen menyediakan fasilitas public space, yaitu ruang terbuka yang bisa digunakan oleh penghuni apartemen. Biasanya di ruang terbuka ini ada kolam renang, lapangan basket, jogging track, dan taman. Penghuni bisa lari pagi, jalan-jalan sore, duduk-duduk sambil ngobrol, baca buku di taman, dan sebagainya. Bahkan, Taman Rasuna yang memiliki podium (public space) seluas 12 ha mendatangkan tukang bakso dan gado-gado gerobak. Sore hari, podium ini sangat ramai. Berjalan-jalan di sini tidak ubahnya seperti berjalan-jalan di sebuah taman bermain yang sangat luas. Fasilitas lain seperti supermarket, laundry, dan sekolah pre school yang ada di lingkungan tower memberikan banyak kemudahan.
Kini semakin banyak apartemen kelas menengah. Menurut Pusat Studi Properti Indonesia (data 2006), yang masuk kategori menengah adalah apartemen dengan harga Rp 5,10 juta-Rp 9,93 juta per meter persegi. Dengan pertumbuhan apartemen kelas menengah yang demikian pesat, mungkin tinggal di apartemen menjadi pilihan hidup yang sangat praktis.
Tapi perlu diingat, hidup di apartemen membutuhkan rasa toleransi yang tinggi. Karena, seperti yang dikatakan Danisworo, kita harus hidup “berbagi”. Untuk halaman, tempat parkir, tempat terima tamu, misalnya, kita harus berbagi dan tidak bisa seperti di rumah sendiri. Ya, tinggal di apartemen memang adalah sebuah pilihan.
(dek)
Pak Tjondro, Guru Besar Rakyat Kecil
Ada yang istimewa pada perayaan ulang tahun ke-80 Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro. Bukan seremoni potong kue dan tiup lilin yang terpenting, tapi terbitnya empat buah buku sekaligus, mengupas jalan hidup dan dinamika dunia yang digelutinya.
Dari keempat buku ini, ada yang ditulis sendiri, ada yang disunting orang lain, ada juga yang ditulis orang lalu didedikasikan untuk beliau. Buku pertama diterbitkan SAINS Press di bawah judul ”Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua” berupa otobiografi guru besar yang karib dipanggil Pak Tjondro ini (xxii+188 hlm, Bogor, April 2008).
Buku kedua diterbitkan AKATIGA berjudul ”Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan Kemiskinan di Indonesia” (xiv+587 hlm, Bandung, April 2008) sebagai kompilasi tulisan-tulisan beliau. Buku ketiga berjudul ”Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan” diterbitkan Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat IPB (x+430 hlm, Bogor, Mei 2008) sebagai himpunan dari 38 karya tulis Pak Tjondro (1977-2006).
Dan buku keempat diterbitkan Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia mengambil judul ”Pengabdian Seorang Guru Pejuang Petani” (xxxii+326 hlm, Jakarta, Mei 2008) bunga rampai dari tulisan yang fokus mengangkat harkat petani.
Berikut ulasan atas substansi pokok dari keempat buku yang secara khusus diterbitkan untuk menghormati jasa dan pengabdian beliau selama ini.
Pribadi yang utuh
Dari otobiografi ”Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua”, kita dapat mengenal Pak Tjondro lebih dekat. Beliau terlahir di Purwodadi, Jawa Tengah tanggal 4 April 1928. Peta perjalanan hidup yang panjang dan berliku telah dibentangkan dengan jernih mengalir, mempesona dan sarat kenangan.
Pak Tjondro berasal dari keluarga ningrat Jawa. Ibunya dari tradisi bupati Kebumen, trah Arungbinang. Ayahnya Sutiyoso Sosrobusono bupati Semarang tahun 1949, dan kakeknya Sosrobusono pernah jadi bupati Ngawi –dengan trah Tjondronegoro. Salah satu budenya, RA Kartini yang kita kenal pejuang emansipasi wanita Indonesia.
Masa kecil di banyak tempat, ikut pindah kerja orang tua dan situasi genting negara. Pak Tjondro tumbuh sebagai sosok unik perpaduan saripati budaya “Jawa” dan “Barat”. Melakoni sekolah dasar di Europese Lagere School (ELS) dan Hogere Burger School (HBS), jenjang SMP di masa Jepang, mengalami sekolah darurat masa revolusi.
Jadi mahasiswa di Universitas Amsterdam Belanda, lalu di Universitas Kentucky dan Universitas Wisconsin USA. Gelar doktornya di bidang sosiologi diraih di Universitas Indonesia (1977) dengan cum laude. Pak Tjondro menikah dengan Puspa Dewi Natalia (almh) dikaruniai dua anak, Myrza dan Irvan Tjondronegoro.
Sekembalinya ke Tanah Air (Mei 1963) setelah menimba ilmu selama belasan tahun di luar negeri, Pak Tjondro berkiprah di IPB, menjalani berbagai tugas di pemerintahan, bergiat di sejumlah lembaga kajian dan penelitian, mengurus organisasi profesi keilmuan, melakukan penelitian, serta mewarnai lembaga swadaya masyarakat. Tahun 1992-1997, beliau sempat jadi anggota MPR yang diangkat mewakili golongan cendekiawan.
Di Universitas Amsterdam Belanda, Pak Tjondro mengambil fakultas yang fokus pada politik, sosiologi, ekonomi dan hukum. Walaupun publik mengenal sosiologi pedesaan sebagai bidang kepakaran beliau, namun khasanah keilmuan yang dikuasainya terbilang luas melewati sekat keilmuan formal. Pendekatan multi-disiplin dengan kacamata komprehensif ialah ciri khas beliau dalam menganalisis persoalan di masyarakat.
Dalam perspektif historis, peran Pak Tjondro tak bisa disepelekan. Beliau turut berjuang memerdekakan bangsa ini dari penjajahan. Secara langsung beliau angkat senjata dan bertempur di medan laga. Pak Tjondro bercerita tentang bagaimana ia menjadi anggota Padvinderij (pramuka ala Belanda), Gakutotai atau paramiliter siswa zaman Jepang, dan perkumpulan nasionalis yang membekalinya nasionalisme dan militerisme.
Dengan ringan beliau menuturkan pengalamannya melakukan ”subversif” sebanyak dua kali. Bagaimana ia menjadi Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), sebagai bagian dari BKR, TKR dan TRI –kelak jadi TNI. Disisipkan kisah tragis terkena pecahan mortir Belanda yang menyebabkan tangan kirinya tak lagi utuh. Keahlian beliau yang jarang diketahui adalah melukis. Semasa kuliah di Amsterdam, Pak Tjondro tergabung dengan kelompok pelukis dengan lukisan tergolong aliran impresionis.
Pak Tjondro ialah sosok guru dan teladan bagi banyak orang. Segi kemanusiaan beliau dikupas menarik sahabat karibnya, Gunawan Wiradi. Menurut Pak Wiradi (72), Pak Tjondro itu perpaduan dari simbol Dewa Wisnu, pohon paridjata, senjata cakra dan burung puter. Tak heran, dalam sosoknya kita temukan pribadi pelindung, anti marah, murah rejeki, berpikiran tajam, hati-hati, sopan, lemah-lembut dan tepat janji.
Otobiografi Pak Tjondro ”genuine” dan tulus, tak seperti kebanyakan otobiografi yang sifatnya ”kampanye” pribadi seorang tokoh guna meraih agenda politik tertentu.
Negara ingkari agraria
Buku kedua, ”Negara Agraris Ingkari Agraria” menegaskan sikap Pak Tjondro yang senantiasa meletakkan agraria sebagai masalah pokok bangsa dan reforma agraria sebagai solusi sekaligus strategi dasar pembangunan nasional yang harus dijalankan.
Pak Tjondro menyajikan kaitan antara pembangunan dan masyarakat desa, yang menunjukkan ketegangan konseptual antara pembangunan pertanian versus industrialisasi, dan kebijakan pembangunan pedesaan versus urbanisasi. Dipaparkan pula kelembagaan sosial masyarakat desa, serta krisis dan ketahanan masyarakat desa.
Dikupas pula tema sentral dalam solusi atas masalah pokok agraria, yakni reforma agraria. Di dalamnya disusuri sejarah penguasaan tanah, eksistensi UU Pokok Agraria versus pengelolaan sumberdaya agraria, khususnya dalam konteks otonomi daerah. Dibahas pula posisi petani dalam strategi implementasi program reforma agraria.
Melalui buku suntingan Fauzan Djamal dan Sofyan Samandawai ini, Pak Tjondro menyajikan proyeksi desa jauh ke depan. Dilukiskan suasana keprihatinan yang mengiringi masyarakat kita di era glbalisasi serta desa retropeksi ke-1800 menuju prospek 2030.
Sebagai kenangan, di lembar-lembar akhir tertuang kesan-kesan manis para sahabat Pak Tjondro, diantaranya: Gunawan Wiradi, Kwik Kian Gie, Thee Kian Wie, Jan Breman, Joan Hardjono, Ben White, dan lain-lain.
Sosiologi pedesaan
Buku ketiga memberi suguhan mendalam tentang sosiologi pedesaan yang didalami Prof. Tjondro sepanjang karier akademisnya. Dengan utuh kita mendapati pemikiran beliau mengenai sosiologi pedesaaan, eksistensi desa, permasalahan agraria, kelembagaan, kemiskinan, termasuk ekspresi perhatian atas kependudukan dan lingkungan hidup.
Susuan tulisan dikelompokkan ke dalam tema studi sosiologi pedesaan, desa, agraria, kelembagaan, kependudukan dan lingkungan hidup, golongan lemah pedesaan, perubahan sosial, dan metodologi penelitian sosial. Kesemuanya bersumber dari pemikiran Pak Tjondro, hasil kajian dan tanggapan beliau atas hasil pemikiran pakar lainnya.
Pak Tjondro menyampaikan berbagai variasi ranah kajian dalam sosiologi pedesaan yang dengan jelas menunjukkan keterkaitan antara aras mikro dan makro pedesaan. Desa tak bisa dibahas terlepas dari konteks struktural, kultural dan lingkungannya.
Di tengah minimnya bacaan berkualitas akademis tentang sosiologi pedesaan, buku suntingan Soeryo Adiwibowo, Melanie A. Sunito, dan Lala M. Kolopaking ini tampil memperkaya referensi ilmu tentang desa terkait konteks nasional, regional bahkan global. Lewat buku ”Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan”, beliau mengajak kita berselancar mengarungi khasanah ilmu pengetahuan sosiologi pedesaan secara jernih dan utuh.
Pejuang petani
Buku keempat yang berjudul ”Pengabdian Seorang Guru Pejuang Petani” berisi tulisan Pak Tjondro bersama sejawat dari Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia (LPP Ind) yang mengaktualisasikan pemikiran mengangkat harkat dan martabat petani Indonesia.
Bunga rampai ini berisi tulisan ahli dan praktisi agraria dan pertanahan. Bagian awal (dan utama) buku ini ialah karya tulis Pak Tjondro yang bersumber dari Laporan Interim Masalah Pertanahan yang pernah disusun beliau bersama tim penelitian bentukan Menteri Negara Ekuin/Kepala Bappenas dan Menteri Negara Riset tahun 1978. Isi pokok dari laporan tersebut ialah saran-saran kebijaksanaan, yang ditandatangani Menteri Negara Riset dan disampaikan kepada Presiden Soeharto (4 Maret 1978).
Belasan tulisan ahli dan praktisi fokus pada upaya mengangkat harkat petani. Diantaranya, Prof. Achmad Sodiki memaparkan upaya mensejahterakan rakyat lewat landreform. Pengawasan pemindahan hak atas tanah untuk membatasi peralihan tanah dan perlindungan petani ditulis Risnarto dan Liliana Arif G. Sedangkan Gagoek S. Hadiwiyoto mengajukan strategi mencegah praktek korupsi dalam program reforma agraria.
Pak Tjondro juga menulis arah kebijakan nasional mengenai tanah dan sumberdaya alam lainnya, yang disajikan dalam proses perumusan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Terkait dengan implementasi Tap MPR ini, Pak Tjondro menulis peranan beberapa lembaga dalam reforma agraria.
Bagian ini diperkuat tulisan Soedjarwo Soeromihardjo yang menyediakan gagasan segar seandainya UU Pokok Agraria disempurnakan. Arti penting pembatalan Pasal 22 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang diguratkan Achmad Sodiki, yang disambung catatan kritis Usep Setiawan tentang kuasa modal dan reforma agraria.
Tertuang juga buah pikiran Prof. Sajogyo yang memberikan catatan pelajaran atas program transmigrasi di masa Orde Baru (1971-1985), dan Prof. Esmi Wirassih yang membahas kebijakan pemerintah di sektor pertanian berbasis kepentingan petani.
Buku suntingan Soedjarwo Soeromihardjo, Achmad Sodiki, dan Risnarto ini ditutup kenangan sahabat dan murid Pak Tjondro, seperti AM. Satari, dan Hesti R. Wijaya.
Epilog
Bagi Pak Tjondro, ketertinggalan sektor pertanian mengakibatkan kita menjadi pengimpor pangan. Karenanya, pembangunan nasional harus dimulai dari pemantapan sektor agraria, bila kita mengaku negara agraria yang mandiri (otobiografi, hlm 120).
Demikianlah sekelumit pantulan pemikiran yang terpancar dari Sediono Mommy Poerwodo Tjondronegoro, seorang guru besar yang konsisten membela kepentingan golongan lemah. Pemikiran, sikap, perilaku dan keutuhan pribadi beliau penting ditauladani generasi penerus, para pecinta kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia yang masih menjalani transisi menuju demokrasi dan didera krisis multi-dimensi tak berkesudahan, jelas membutuhkan jiwa-jiwa pejuang yang kukuh pada semangat dan prinsip-prinsip kemerdekaan seperti terawat apik dalam pribadi Pak Tjondro.
Bukan hanya orang-orang terdekat yang bangga dan berterima kasih kepada Pak Tjondro, melainkan bangsa ini patut bangga dan berterima kasih atas dedikasi yang telah diabdikan beliau bagi bangsa dan negara ini, bahkan hingga kini berusia 80 tahun.
Kita doakan Pak Tjondro panjang umur, senantiasa sehat dan bahagia. Semoga bangsa ini tak lupa sejarah pendiriannya: merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur…
Jakarta, 16 Juli 2008
Penulis adalah antropolog dari Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung, dan Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Alamat KPA: Jl. Zeni No. 10 Mampang Prapatan Jakarta Selatan 12790, Tlp (021) 79191644. Email: // usepsetia@yahoo.com
E-mail ini dilindungi dari spam bots, kamu perlu mengaktifkan JavaScript utk melihatnya
, HP: 0818-613667.
RESENSI BUKU
Judul : Mencari Ilmu di Tiga Zaman dan Tiga Benua:
Otobiografi Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro
Penulis : Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro
Penerbit : SAINS Press – Bogor
Terbit : xxii+188 hlm, April 2008
Judul : Negara Agraris Ingkari Agraria: Pembangunan Desa dan
Kemiskinan di Indonesia
Penulis : Prof. Dr. Sediono MP Tjondronegoro
Penyunting : Fauzan Djamal dan Sofyan Samandawai
Penerbit : AKATIGA – Bandung
Terbit : xiv+587 hlm, April 2008
Judul : Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan
Penyunting : Soeryo Adiwibowo, Melanie A. Sunito, dan Lala M. Kolopaking
Penerbit : Departemen Komunikasi Pengembangan Masyarakat IPB – Bogor
Terbit : x+430 hlm, Mei 2008
Judul : Pengabdian Seorang Guru Pejuang Petani
Penyunting : Soedjarwo Soeromihardjo, Achmad Sodiki, dan Risnarto
Penerbit : Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia – Jakarta
Terbit : xxxii+326 hlm, Mei 2008 |