CARUT MARUT PENAMBANGAN PASIR DI JAWA TIMUR
Oleh:
Imam Koeswahyono[1]
Selama enam hari harian Surya minggu akhir bulan September 2007 memuat headline berita mengenai problema penambangan bahan galian C berupa pasir batu yang tersebar di kabupaten Jombang, Mojokerto sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Brantas, Pasuruan. Memang di satu sisi merupakan usaha yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekian banyak penduduk miskin, namun di sisi lain menimbulkan konflik baik antara pemerintah daerah dengan DPRD maupun dengan warga masyarakat karena dampak negatif degradasi lingkungan (environmental degradation) yang semakin mengkhawatirkan.
Dalam konteks hukum persoalan kemelut penambangan pasir dapat dicermati dari dari beberapa faktor penyebab untuk selanjutnya dapat diajukan solusi pemecahannya. Konflik bermakna terjadinya perbedaan kepentingan antara dua belah pihak atau lebih atas suatu masalah baik dalam perspektif vertikal maupun horisontal (Suporahardjo, 2000).
Beberapa Akar Masalah Konflik
Konflik pertama berwujud konflik norma yaitu dasar pengaturan aktifitas pertambangan yakni Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 3 Ayat (1) penggolongan dan pelaksanaan penguasaan bahan galian, Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah (PP) No.27 Tahun 1980 yang menggolongkan pasir sebagai bahan galian golongan C , Peraturan Daerah No.2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Timur, serta Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Timur No.123 tahun 1997 tentang Pemberian Ijin Penambangan Pasir di kawasan Ngoro dan Gempol. Konflik norma senantiasa muncul ketika pejabat pemerintah mengeluarkan kebijakan (policy) yang bersifat mengatur (regelingen beleid) yang ternyata tidak sinkron dengan peraturan perundangan di atasnya. Jika hal demikian terjadi, maka diperlukan pengujian (toetsingrecht) menurut Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya Pasal 7, maka dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) karena merupakan produk di bawah undang-undang. Ada hal yang harus diacu dalam melakukan pengujian oleh hakim yakni keadilan dan kepastian hukum.
Konflik kedua, adalah konflik kepentingan (conflict of interests) dalam masalah ini nampak bahwa terjadi antinomi antara kepentingan perolehan pendapatan aseli daerah (PAD) yang pada 2006 mengalami kerugian akibat penambangan liar sekitar 300 lokasi mencapai angka Rp. 7,5 miliar. Namun harus dipertimbangan resiko degradasi lingkungan yang telah dan akan terjadi jika kegiatan penambangan pasir tetap berlanjut yang menurut Pasal 1 angka 14 dan 20 merupakan tindakan yang menimbulkan pengaruh perubahan langsung/ tidak langsung yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Dipertegas pula di dalam Undang-undang No.17 Tahun 2007 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 angka I.1dan 5. Dalam hal demikian Pasal 25 Ayat (1)-(3) UU No.23 Tahun 1997 dikeluarkannya sanksi administratif oleh gubernur untuk segera mengambil tindakan secara seksama, tepat mengakhiri pelanggaran ijin penambangan untuk penyelamatan, penanggulangan kerusakan terhadap lingkungan. Audit lingkungan sebagaimana ditentukan Pasal 28-29 harus segera diperintahkan kepada penanggung jawab usaha atau pihak ketiga (yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup dalam konteks otonomi daerah dapat dilakukan oleh Gubernur) untuk melakukan audit, agar diketahui antara keuntungan finansial yang diperoleh dengan biaya yang mesti dikeluarkan untuk pemulihan kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan kajian ini sesungguhnya tidak logis jika antara PAD yang diterima dengan biaya yang pasti harus dikeluarkan untuk memulihan kerusakan lingkungan lebih besar untuk yang terakhir. Apalagi Pasal 35 Ayat (1) UU No.23 Tahun 1997 meletakkan tanggung jawab mutlak bagi penanggung jawab usaha penambangan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
Konflik ketiga adalah konflik kelembagaan birokrasi menurut beberapa penelitian sangat lemah (HuMa 2000, RACA Institute, 2004) kurang atau lemahnya koordinasi kelembagaan birokrasi baik di pusat apalagi di daerah: misalnya dinas-dinas terkait, karena ego sektoral dan motif ekonomi. Upaya pengatasannya diperlukan upaya dialogik antar kelembagaan yang dapat diprakarsai oleh Gubernur untuk diambil sikap yang bijak, transparan dan berkeadilan mengedepankan sebesar-besar kepentingan seluruh warga masyarakat.
Apakah Masalah Dapat Diatasi?
Telah dikatakan oleh Brian Z Tamanaha (2001) bahwa kaidah/ norma hukum merupakan refleksi atau cerminan kepentingan negara (baca: pemerintah pusat maupun daerah) yang di dalamnya terkandung esensi moral/ kepatutan, kebiasaan masyarakat (consent) dan hukum positif. Jika pandangan itu dikaitkan dengan persoalan kemelut penambangan pasir di Jawa Timur, dapatlah diutarakan beberapa solusi:
1. Standarisasi proses perijinan dengan pembakuan dalam satu wadah (Sistem Manajemen Perijinan Satu Atap) yang transparan termasuk syarat, biaya, sehingga pemohon yang tidak memenuhi standar yang ditentukan harus ditolak;
2. Meletakkan kewajiban Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk semua pemohon ijin penambangan termasuk galian C.Sebab sesungguhnya sejak awal diterimanya SIPD (Surat Ijin Penambangan Daerah), dalam tenggang waktu dalam ijin seharusnya terhadap pemegang SIPD dilakukan pemantauan dan evaluasi;
3. Penutupan kegiatan penambangan yang dikualifikasikan sebagai penambangan liar tanpa jalan keluar bukanlah kebijakan yang memenuhi prinsip pemerintahan yang layak (the principle of good governance). Artinya, pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap masa depan penghasilan warga penambang yang akan kehilangan mata pencariannya. Sementara pemberian ijin (SIPD) yang jelas bersifat diskriminatif, justru menyebabkan pemberi ijin acapkali kehilangan kontrol, padahal jelas terjadi penyimpangan penggunaan ijin. Penetapan kawasan yang boleh atau sebaliknya tidak boleh dilakukan penggalian lagi harus didasarkan pada kajian riset.
4. Meletakkan prinsip keadilan yang menurut Rawls (1971) dengan fairness dan membagi tanggung jawab, sehingga pengusaha besar & kuat dapat diletaki kewajiban untuk memberikan keuntungan dengan memberikan kesempatan kepada para eks penambang untuk bekerja di sektor ini;
5. Mengenakan sanksi yang tegas kepada siapapun yang secara sah dan meyakinkan khususnya pemegang SIPD yang terbukti melakukan tindak pidana perusakan lingkungan hidup menurut UU No.23 Tahun 1997 dengan penerapan asas tanggung jawab mutlak (principle of strict liability);
6. Pencabutan segera atas SK Gubernur No.123 tahun 1997 karena fakta empirik menunjukkan terjadi penyalahgunaan oleh pemegang ijin (pemegang SIPD). Padahal menurut NM Spelt dan ten Berge (Paulus M Hadjon, 1991) ijin merupakan bentuk persetujuan pemerintah kepada si pemegang ijin untuk melakukan aktvitas tertentu yang hakikatnya dilarang karena dapat menimbulkan dampak negatif (baca: kerusakan lingkungan yang permanen). Jika hendakdengan penuangan di dalam Peraturan Daerah tentang Penambangan Pasir, harus dilakukan setelah dilakukan studi ilmiah yang mendalam tentang kelayakan untuk diteruskan atau sebaliknya. Setidaknya pada penuangan ini akan memperoleh kontrol secara optimal oleh DPRD. Mengapa demikian karena di pundak baik pemerintah daerah maupun DPRD terletak kewajiban moral agar berbuat demi kemaslahatan rakyat.
Semoga kemelut yang meruyak disaat kita membangun diri ini khususnya di bulan Ramadhan harus segera dapat diatasi secara tuntas oleh Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Timur, atas dasar kearifan dan niat baik untuk kebaikan bersama. Jika bukan kita sendiri siapa lagi yang bisa menyelesaikan carut-marut ini ?.
[1] Staf Peneliti Pusat Pengembangan Hukum Sumber Daya Alam & Lingkungan dan Peserta Program Doktor Ilmu Hukum Unibraw