CATATAN HUKUM
ATAS
LAPORAN AKHIR KAJIAN
”TINJAUAN KEBIJAKAN ALOKASI ANGGARAN DALAM IMPLEMENTASI DAN MEKANISME PROSES PENCAIRAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM”
Oleh:
Imam Koeswahyono
A. Merujuk pada catatan saya dari hasil diskusi draft laporan akhir penelitian BPP Fak Teknik Unibraw jurusan PWK tanggal 13 November 2008 bertempat di Bapeprov Provinsi Jawa Timur di Surabaya khususnya dari aspek hukum dapat saya rumuskan dalam tabel di bawah ini.
Catatan secara umum dari perspektif hukum, khususnya aspek hukum pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bagi kepentingan umum adalah:
-
- Agar konsistensi ilmiah senantiasa terjaga, maka harap istilah pembebasan tanah seluruhnya yang terdapat di dalam isi laporan akhir karena tidak dikenal di dalam hukum positif[1] tentang agraria diganti dengan pengadaan tanah
- Azas-azas hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum karena disebut tegas di dalam konsiderans yaitu ada dua: penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum maka harus dicantumkan dalam kajian teoritik laporan kita.
- Agar kajian kita nampak komprehensif dengan pendekatan lintas disiplin ilmu, maka kepada tim editor untuk memasukkan daftar pustaka sebagaimana ada pada catatan saya
- Sejak awal kajian hukum belum nampak tersurat pada laporan kita, itu sebabnya saat dua diskusi masalah hukum mengemuka tanpa ada yang tertulis, maka kepada tim editor laporan khusus kajian hukum walau hanya sekadar satu alineapun harus muncul di kajian pustakanya. Misalnya pada kajian dasar hukum dan azas-azas hukum pengadaan tanah. Buku Abdurrachman sudah kurang banyak diacu karena sudah tertinggal dari perkembangan wacana teori hukum pengadaan tanah yang sekarang sangat pesat seperti ditulis oleh mantan Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional Prof.Maria Sriwulani Sumardjono,SH.MCL.MPA.PhD, Oloan Sitorus,SH.MH.Dr.Prof.Arie Sukanti Hutagalung SH.MLI.
- Seperti telah acapkali saya sampaikan secara oral/lisan bahwa laporan kita merujuk persoalan tehnis prosedural, melupakan aspek sosial, sehingga untuk mengeleminasi seminimal mungkin resistensi masyarakat si pemegang hak atas tanah dalam perhitungan besaran ganti-rugi (dapat diistilahkan pula ganti-untung) harus dilakukan penghitungan berapa nilai sosial yang terugikan akibat dari kebijakan pengadaan tanah bagi kepentingan umum itu[2]. Dalam konteks ini secara hukum administrasi pengukuran apakah pemerintah nasional atau provinsi tergolong sebagai ”good governance atau tidak” salah satunya dalam kebijakannya tidak mengakibatkan pencideraan atas aspek keadilan, dan kepastian hukum[3].
B. Catatan Saya Secara Khusus Mengenai Aspek Hukum
No. |
Tertera Tulisan/ Kalimat |
Usulan Pandangan Saya[4] |
1.
2.
3. |
Halaman 8 angka 1 pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan bagi kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
Sesungguhnya secara legal/ hukum belum disebut secara tersurat di dalam isi laporan hasil kajian tim.
Sekalipun tidak harus termaktub dalam laporan jika dihasrati ditulis juga bisa mengenai tanah-tanah yang bukan merupakan tanah hak. Artinya tanah-tanah yang dikuasai oleh BUMN, BUMD |
Pengadaan tanah sebagai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah bagi kepentingan tertentu dengan cara memberikan ganti kerugian kepada si empunya (baik perorangan atau badan hukum) tanah menurut tata cara dan besaran nominal tertentu. Rasionalitasnya karena keterbatasan ketersediaan tanah untuk pembangunan yaitu berupa tanah-tanah yang dikuasai oleh negara (baca: pemerintah) menurut Pasal 2, 4 UUPA. Harus dijelaskan dalam uraian pelepasan hak atas tanah khusus untuk hak milik atas tanah. Sedangkan penyerahan hak atas tanah khusus untuk hak-hak atas tanah selain hak milik. Secara teoritik didasarkan pada azas/ prinsip tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:
Sesungguhnya secara legal/ hukum atau normatif pembentukan tim khusus atau panitia penaksir tergantung pada pertimbangan panitia pengadaan tanah dibentuk apabila tanah yang diperlukan luasnya dua hektar ke atas, kedua tugas panitia hanya membantu agar pelaksanaan kegiatan pengadaan tanah memenuhi prinsip keadilan dan kepastian hukum. Ada dua undang-undang yang berbeda mengaturnya Agrarisch Wet kemudian menjadi Undang-undang No.5 Tahun 1960 dan Boschwezen Ordonanntie kemudian menjadi Undang-undang No.41 Tahun 1999 sekarang UU No.19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Terhadap tanah hak dilakukan pelepasan hak/ penyerahan hak diikuti perubahan hak dengan akta notaris/PPAT. Padahal UU Kehutanan tidak mengenal itu cukup dengan pencoretan dari buku register karena tanah hutan sebagai tanah negara tidak didaftar. Disini terjadi conflict of norm dan conflict of interests dari dua institusi BPN dan Perum Perhutani !. Catatan saya yang juga penting adalah: Peraturan Daerah Provisnsi Jawa Timur tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum Tahun 1994 harus diubah menyesuaikan dengan Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 |
DAFTAR PUSTAKA
Maria SW Soemardjono.,2005.,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Buku KOMPAS, Jakarta
Oloan Sitorus dkk.,1995., Pelepasan Atau Penyerahan Hak Atas Tanah Sebagai Cara Pengadaan Tanah, Cetakan Pertama, CV Dasamedia Utama, Jakarta
Oloan Sitorus dkk.,2004., Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta
PM Hadjon dkk, 2004., Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama, UGM Press, Yogyakarta
Demikian hal-hal penting yang dapat saya sampaikan untuk kiranya dapat dielaborasi pada laporan akhir studi tentang kebijakan alokasi anggaran untuk kegiatan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan untuk kepentingan umum. Sekiranya ada hal-hal yang kurang jelas, kurang berkenan jangan segan-segan diharapkan menghubungi saya di 0341-460 336 (rumah) atau kantor 0341-553 898, mohon maaf atas semua kekurangan saya. Selanjutnya…Wallahu’alam bisshawab!.
Malang, 17 November 2008
[1] Hukum positif maksudnya, (disebut dengan istilah hukum (Ius Constitutum) yang berlaku di Indonesia sekarang ini, tapi tidak dikenal istilah hukum negatif !
[2] Periksa Putusan Mahkamah Agung pada Kasus Sengketa Ganti Rugi Untuk Pembangunan Waduk Kedung Ombo Jawa Tengah No.32/MA/K-Sip/1994 oleh majelis hakim dipimpin R Poerwata Gandasoebrata SH. Yang menghitung kerugian sosial sebesar sekitar Rp.5 milyar. Sekalipun Indonesia tidak menganut “the binding force of precedent” namun biasanya hakim Indonesia condong melihat dan memperhatikan putusan pada kasus/ perkara yang sejenis/ serupa.
[3] Periksa pendapat pakar hukum administrasi negara UNAIR Paulus Mandiri Hadjon dalam PM Hadjon dkk, 2004., Pengantar Hukum Administrasi Negara, Cetakan Pertama, UGM Press, Yogyakarta, hal. 10-57 ada tigabelas parameter menurut Monchy (1952) dalam mengukur suatu pemerintahan negara masuk dalam kriteria “good governance” atau belum.
[4] Periksa seksama rujukan pustaka bacaan wajib hukum pengadaan tanah mencakup:
Maria SW Soemardjono.,2005.,Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Buku KOMPAS, Jakarta, hal. 72-91, lihat pula, Oloan Sitorus dkk.,1995., Pelepasan Atau Penyerahan Hak Atas Tanah Sebagai Cara Pengadaan Tanah, Cetakan Pertama, CV Dasamedia Utama, Jakarta, hal. 8-9, periksa pula Oloan Sitorus dkk.,2004., Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Cetakan Pertama, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hal.11-14